Setelah melewati persiapan yang matang akhirnya kami memutuskan anak –
anak kelas 5 angkatan tiga, harus
mengikuti serangkaian tempaan untuk
membangun ketahanan hidup mereka. Tempaan itu disebut dengan pendadaran. Yaitu serangkaian tempaan buat kelas 5 sebelum
mereka lulus dari SMART yang bertujuan agar mereka dapat mempersiapkan diri supaya
survive di kehidupan nanti yang sesungguhnya.
Pendadaran dilaksanakan selama seminggu , bertempat di dalam dan di luar
lingkungan sekolah. Salah satu kegiatannya adalah “melatih diri” selama satu hari untuk berusaha
mendapat uang dengan cara apa pun yang penting halal di luar lingkungan sekolah.
Melewati beberapa survey tempat, akhirnya kami memilih kegiatan tersebut di Pasar Rumput, Jakarta Timur.
| Baca Juga : "Aku dan Cita-citaku", Catatan dari Boot Camp SMART-NICE 2021
Ya, waktu itu hari sabtu, di bulan Juni 2011, para siswa dibagi menjadi
beberapa kelompok untuk melakukan usaha mendapatkan uang guna belajar mempertahankan hidup. Saya, dan guru-guru SMART yang terdiri Pak Mulyadi, Pak Willy, Bu Rini dan Bu
Dini mengangkat diri masing-masing sebagai pendamping kelompok untuk anak-anak angkatan
3 SMART ini. Dengan menggunakan kereta api, kami semua berangkat dengan
mengambil start dari Statsiun Bogor
menuju statsiun Manggarai. Sesampainya
di Stasiun Manggarai kemudian kami melanjutan
dengan berjalan kaki menuju Pasar Rumput Jakarta Timur, yang jarak tempuhnya
sekitar 2 Km. Cukup lelah memang!, namun menurut hemat kami ini pengalaman belajar yang seru dan mengasyikan.
| Baca Juga: Momen Belajar Fisika Yang Paling Diingat Oleh Siswa SMART Angkatan 14
Setelah sampai di Pasar Rumput,
Jakarta Timur, kami langsung memilih tempat yang nyaman untuk memberikan
pengarahan. Mereka dikumpulkan perkelompok kemudian diberi arahan agar mereka survive
di tempat itu dan diharuskan mendapatkan uang guna menyambung hidup mereka hari
itu. Dari mereka tidak ada seorang pun yang diberikan uang untuk modal, karena
kami khawatir dengan diberikan uang modal malah akan habis digunakan untuk hal
yang tidak perlu. Mereka diharuskan murni berusaha sendiri, dan harus
mengumpulkan seberapa pun pendapatan mereka. Lebih banyak mereka mengumpulkan
uang akan semakin lebih baik. Yang penting caranya halal!, dan kami sampaikan bahwa di akhir kegiatan mereka
harus kembali berkumpul untuk menyampaikan pengalamannya dalam mendapatkan uang.
Teng.., acara mereka menyebar pun dimulai. Dengan membaca basmallah
bersama-sama, mereka beranjak dari tempat itu. Masing-masing kelompok
meninggalkan tempat dan mengambil jalan yang berbeda. Diperhatikan saat mereka jalan,
sekilas nampak raut muka mereka memperlihatkan kegalauan dan harap-harap cemas.
Mungkin mereka berat hati menjalani kegitan itu, bercampur lapar dan terik
matahari yang menyengat, mereka harus mampu mengumpulkan uang yang cukup untuk
bekal hari itu.
Setelah beberapa menit mereka dibiarkan untuk berputar memperoleh
pekerjaan di pasar, kami satu persatu mengambil inisiatif untuk menyebar guna
mengawasi para kelompok siswa. Heee…kelihatan
sebagian dari mereka ada yang berteduh di bawah pohon persis di depan pasar,
bagian belakang. Sebagian yang lain masih celingukan, asing dengan suasana pasar
itu sendiri. Kami lihat memang bagian depan pasar suasananya sedikit agak sepi,
namun bila disusuri kebelakang keramaian suasana pasar mulai nampak. Saya yang kebagian
mengawasi kelompok agung, yang kelompoknya terdiri dari dede, restu, beni urwah, dan hamdani, mencoba naik tangga menuju ke lantai dua pasar rumput
itu, berjalan menyusuri toko-toko pasar bermaksud
menguntit dari belakang sekaligus mengawasi para siswa dari atas. Biar jelas
dari mereka pergi kemana saja. Nampak kawanan mereka masing-masing bergerombol-
gerombol berjalan, persis seperti gerombolan anak-anak sekolahan umumnya yang
suka bermain liar di jalanan. Gumam di hati saya, “ Mudah-mudahan mereka segera
mendapatkan pekerjaan sehingga cepat menghasilkan uang.” Setelah memastikan
mereka semua memang aktif saya kembali ke pos tunggu.
| Baca Juga : Indahnya Berbagi Gaya Belajar Ala Bindo SMART
Diantara kami para pendamping kemudian berbincang-bincang, “Apa sih yang mereka
lakukan?”...kami saling menebak-nebak aktivitas mereka, mungkin mereka ada yang
menjadi kuli panggul, mencuci piring atau pekerjaan kasar yang lainnya. Setelah
berbincang-bincang bersama cukup waktu, kami satu persatu kembali memisahkan diri untuk menyebar mengawasi
mereka. Agak cukup kesulitan saya mencari keberadaan mereka, karena memang
pasarnya semakin ramai dipenuhi para pedagang dan pengunjung pasar. Setelah
beberapa menit berputar-putar akhirnya saya berpapasan juga dengan mereka. Saya
tanya mereka,” Sudah berusaha kemana aja kalian?” mereka menjawab,” Tadi kami
mengunjungi beberapa toko dan menawarkan jasa untuk membantu mereka”, kemudian beni
menambahkan ”mereka kebanyakan ingin kami bekerja lama disini bukan sehari ini
saja ustad”. Kata yang punya toko itu” kamu boleh bekerja disini tapi tiap hari
ya!, bukan hari ini saja!” . “Akhirnya saya tidak jadi bekerja ustad” kata
anak-anak. “ Oh begituu, ya silakan cari
peluang lagi”, kata saya. “Kamu harus pintar cara mengkomunikasikannya dong!”… “Siap
ustad!” kata mereka. Kemudian mereka melanjutkan petualangannya dan saya
kembali ke tempat pos tunggu lagi. Guru
pendamping lain nampak, sudah lebih dahulu datang ke pos tunggu. Satu sama lain
saling berbagi cerita saat ketemu dengan anak-anak dampingannya dengan segala
kelucuannya dan keunikannya. Setelah
sekitar setengah jam berbagi cerita dan menunggu, kami kembali untuk kesekian
kali menyebar lagi.
Saat kami coba cari mereka, saya melihat kelompok mereka berpisah-pisah. Saya samperin agung dan urwah, mereka terlihat agak sedikit
kaget, dan berucap” Ustad tadi kami saat jalan-jalan menawarkan jasa ke toko-toko
di jalanan saya menemukan uang lima ribu, ini ustad uangnya” sambil menunjukkan uang
lembaran lima ribu. “Oh gitu ya!” kata saya, “terus kamu gimanain ini uang?” “Ga
tau juga ustad, kami haus tad,”… “aduuhh” kata saya, “harusnya kamu tunggu dulu
di tempat menemukan uang tadi, kali ada orang yang kehilangan dan sedang
mencari-cari uang itu sekarang”. “Nah ustad, itu disana ustad…” sambil mereka menunjuk
jalanan yang dilalui lalu lalang para pengunjung pasar. “Ini buat kami aja ya ustad?,..
haus!.” Saya tidak menjawab. Akhirnya mereka memakai uang itu untuk membeli
minuman, kelihatan mereka sangat kehausan dan keletihan, karena sedemikian lama
berputar-putar untuk mendapatkan uang. “Silakan coba lagi, untuk mendapatkan
pekerjaan ya…” kata saya. “Ia ustad, kami
mau ke ujung sana kali ada toko yang memerlukan
jasa kami” . “Ia silakan, saya akan tunggu sampai jam satuan ya?”, kata saya. “oke ustad!” kata
mereka. Kemudian mereka jalan kembali menyusuri jalanan yang pinggirannya
berjejer toko-toko dan banyak lapak di jalanan yang mejual macam-macam barang
kebutuhan. Sesaat mereka meninggalkan tempat berbincang-bincang tadi, saya sedikit
tertegun, berpikir ada yang tidak beres dengan mereka, aneh!, mereka punya uang
lima ribu tapi kok semuanya dapat minum sirup?!.
Piker saya, “Ah mungkin harga minuman sirup di tempat itu cukup murah.” Karena
penasaran, kemudian saya samperin tukang
sirup dan saya membeli sirup tersebut, ternyata, harganya seplastik minuman
sirup itu dua ribu. Hah Dua ribu?!...
Menjelang beduk dhuhur kami masuk
mesjid dan sholat di mesjid sekita pasar
itu. Para siswa yang lain berdatangan dan ikut sholat. Kami berbincang dengan
mereka tentang usaha mereka. Hampir semua dari mereka ternyata tidak ada yang
dapatkan uang dari pekerjaan, hanya ada satu
anak, yaitu beni, dia berhasil
mendapatkan uang sebanyak dua ribu rupiah karena telah berjasa membawakan
barang bawaan seorang ibu yang belanja di pasar. Cukup mendapat apresiasi dari
temannya dan juga dari kami pendamping.
Ada juga siswa yang bercerita mau
bawain barang namun dilarang oleh yang punyanya. Ternyata banyak cerita yang lucu-lucu dari
mereka dari pengalaman mencari pekerjaan di pasar tersebut.
Sehabis dhuhur mereka diberi kesempatan satu jam lagi untuk menuntaskan
pekerjaannya. Banyak dari mereka yang mengeluh lapar. “ Ustad lapaar” kata
mereka, namun seperti yang telah disepakati bersama bahwa mereka mau tidak mau
harus makan dari hasil jerih payah mereka sendiri, bila tidak dapat uang siang
itu mereka tidak akan makan. Sampai datang kembali mereka ke sekolahan. Itu
yang kami tekankan bermaksud penanaman daya survival
buat mereka.
Sehabis istirahat bada sholat duhur, kemudian mereka kembali menyelesaikan satu jam
lagi berikhtiar mendapatkan uang.
Saat kami mengawasi mereka dari kejauhan semangat mereka tersisa hanya
sedikit saja, ada banyak yang duduk-duduk dan tidak serius atau juga yang hanya
jalan-jalan saja, untuk menghabiskan waktu yang tersisa. Bahkan 15-10 menit
belum selesai ada kelompok yang sudah kembali ke pos tunggu. Sampai akhirnya
berkumpul semua. Kami tanya satu persatu dari kelompok mereka, apa yang telah
didapatkannya? Hampir semua dari mereka menjawab mereka kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uang, mereka banyak bercerita seperti
yang dikatakan riko” Susah banget ustad, dah nanya-nanya ke toko, saya nawarin
kuli panggul tapi tidak digubris” mereka mengatakan” Ga usah dibawain dek, biar
kami aja yang angkat”. “Susah sekali untuk mendapatkan uang itu ternyata” kata
mereka. Saya tanya” Ada yang mencoba dengan ngamen atau nyanyi-nyanyi?” Mereka
geleng-geleng kepala, katanya, “Bila ga diringi gitar ya ga bisa ustad, malu bila hanya dengan tepuk tangan”, demikian
mereka berdalih. Memang kami tidak memperkenankan mereka membawa alat bantu
seperti gitar atau tam-tam, atau sejenis alat musik lainnya. Kami hanya meminta
mereka bisa menggunakan kemampuan dan keberanian mereka untuk mendapatkan uang
pada hari itu.
Bu Rini saat itu mengatakan” Wah payah-payah ya kalian, ga ada yang
berhasil mendapatkan uang banyak. “Jadi, gimana kalian makan hari ini?”
..mereka pada diam. Ada siswa yang berani nyeletuk” Dari ustad dan ustadzah aja
deh”. “Ow..no, no, hari ini kita tidak makan sampai kita sampai ke sekolah, ada
yang mau ditanyakan?. Kalau tidak ada yang bertanya lagi, kita pulang sekarang.”
Tidak ada siswa yang bertanya lagi. Mereka semua memahami bahwa ujian bagi
mereka pada hari itu cukup melelahkan dan mereka menyadari bahwa memang untuk
bertahan hidup ini perlu pengorbanan, usaha, dan keberanian. Mereka sudah
membuktikan sendiri bahwa begitu sulitnya mereka mencari nafkah. Selama ini
mereka dengan sangat mudah mendapatkan makanan, pendidikan, dan pelayanan
sedangkan mereka yang diluar sana hidup itu begitu sulitnya. “Kalian harus
banyak bersyukur bisa hidup seperti sekarang” demikian kata ustad dan ustadzah
mengakhiri acara hari itu.
Mereka kembali ke Statsiun Manggarai dengan masing-masing kelompoknya dengan mengikuti
rute perjalan sebelumnya. Sesampainya kami disana, ternyataa…Wow.. ustadzah-ustadzahnya sudah menyediakan makanan nasi bungkus untuk disantap
bareng-bareng. Mantap, mereka makan
dengan lahap. Rupanya skenario lain sudah dipersiapkan bahwa mereka juga harus
makan tapi itu hiden scenario agar
mereka serius mengikuti program pendadaran hari itu.
Kelompok Agung ternyata datang terlambat ke statsiun, satu kelompok ini dikabarkan naik metro mini
untuk sampai disana. Katanya mereka kelelahan, dan kepanasan. Yang tidak diduga
ternyata mereka sudah jaga-jaga.
Sejumlah uang telah mereka siapkan untuk
mengantisipasi ketidakberhasilan mereka mendapatkan uang. Sulit bagi kami
mengetahui dimana mereka simpan uang sedemikian itu padahal kami sudah merah-rah, memeriksa ke semua baju dan
celana mereka, saku-saku mereka kami pastikan tidak ada uangnya. Dan lucunya,
memang ternyata kelompok itu adalah kelompok yang tadi sempat minum sirup di
pasar yang mengatakan bahwa mereka menemukan uang di jalanan. Wah…, kami
tertipu saat itu ternyata mereka bukan menemukan uang dijalanan tapi mereka
memang membawa uang yang disimpan di
balik bajunya. Cek..cek..cek…jadi bingung juga memahami perilaku anak-anak
ini. Disatu sisi kami marah dengan perilaku
mereka yang tidak senasib sepenanggungan dengan teman yang lainnya namun disisi
lain kami menjadi tersenyum-senyum dengan tingkah polah kepolosan dan kecerdikan mereka. 😀😀
Tidak ada komentar:
Posting Komentar