Oleh : Bapak Je. Firman, Guru Bahasa Indonesia SMART
Matahari menepi dengan sukarela di cakrawala, membiarkan bulan datang berkawan angin yang meraung kencang menampari tiang-tiang perahu di dermaga. Bintang memeluk tubuhnya; berupaya mengurangi rasa dingin akibat serbuan angin. Tak banyak berguna.
Kemudian engkau muncul
dari bilik kabut di cakrawala. Malu-malu. Ya, malu-malu, bahkan saat hendak
menawarkan aneka pesonamu itu kepadaku. Kau tak langsung mendekat. Kau hanya
memandangku dari jauh saat pesona-pesona lain mengerumuniku. Aku menolak karena
aku menunggumu. Kenapa begitu, aku tidak tahu. Keinginan menunggumu itu timbul
seperti keinginan menyaksikan matahari terbit di Pantai Sanur: menjalarkan
debar dan harapan.
“Dingin.” Aku
mendengarmu berbisik.
“Lama sekali aku harus
menunggu hanya untuk bicara dengamu. Ratusan bulan.” Aku membalasnya.
“Kenapa begitu?”
“Takdir, kurasa,”
akhirnya engkau bicara.
“Takdir apa?” balasku.
“Takdir bahwa aku ini
fana.”
Aku tersadar pada fajar
di sebuah gubuk renta. Kembali berada di tempat yang sama, kembali mendambakan
kehadirannya. Ia bukanlah seorang puteri yang cantik memesona. Bukan pula artis
cantik seperti artis Korea. Tapi, seperti yang ia katakan setiap kali kami
bertemu. Ia hanyalah fana. Dan kefanaanya adalah takdir yang telah menjelaga.
Aku bangun seperti
biasa. Melaksanakan semua rutinitas pagi dengan riang gembira. Mengucap doa,
membasuh muka, melangkahkan kaki ke musala. Berbincang-bincang dengan orang
tua. Menikmati sarapan jika ada. Dan, tentu saja, berjalan kaki menuju sekolah.
Sebuah rutinitas yang paling berat untuk dijaga, bukan karena tujuannya
melainkan jaraknya. Tanpa roda, tanpa transportasi, tanpa ongkos tentu saja,
aku harus menuju sekolah yang berjarak 10 km dari rumah. Semua aku lakukan agar
bisa meraih cita-cita dan tentu saja bertemu dengan dia.
Asa untuk bertemu
dengannya dengan seketika terbuka saat aku mendapatkan surat cinta dari sebuah
tempat nun jauh di sana. Bogor nama kotanya. Jawa Barat itu letak provinsinya.
Namun, aku tahu itu bukanlah sebuah tempat yang bisa kujangkau dengan jalan
kaki atau sepeda. Bahkan, aku harus meninggalkan teman dan orang tua jika ingin
bersua dengannya.
Aku yakin bahwa
keputusanku untuk menjemputnya adalah keputusan benar. Aku akan meminta izin
kedua orang tua untuk alasan yang bernalar. Aku rela meninggalkan teman-teman
yang biasa berkelakar.
“Bogor, aku datang,” aku
begitu membara, “Aku akan menjemputnya. Ia yang selama ini hanya ada dalam
angan-angan!”
Benar saja. Di tempat
ini, akhirnya aku menemukannya. Menemukan ia yang selama ini datang saat aku
terjaga. Bentuknya masih tak kasatmata, abstrak, namun aku mampu merasakannya.
Siapakah ia? Akhirnya,
aku menemukan jawaban. Ia bukanlah seorang puteri cantik dengan rambut panjang
dan tiara di kepalanya. Ia juga bukan seorang ratu yang begitu sempurna seperti
dalam buku-buku cerita. Ia hanyalah sebuah kata. Ia adalah GIZI.
Aku. Inilah aku, M. Aqshal
Ilham, seorang anak beranjak remaja berasal dari Lampung. Aku kini
hijrah dari tempat kelahiranku ke sebuah sekolah bernama SMART Ekselensia Indonesia yang berada di Bogor Jawa Barat. Meski
ini keputusan berat, namun aku yakin bahwa aku mampu berprestasi, mengubah
status mustahik menjadi muzaki, serta mengangkat derajat orang tua suatu saat
kelak. Selain karena berbagai fasilitas, kualitas guru, lingkungan yang Islami,
di sini pun setiap saat aku akan bertemu dengannya: gizi.
Mimpi dan kisah M.
Aqshal Ilham mungkin hanya sebagian kesah untuk anak-anak dengan nasib yang
sama. Anak-anak yang dibesarkan dalam keterbatasan ekonomi bahkan mungkin
cinta. “Boro-boro menghidangkan makanan bergizi,” itu mungkin prinsip para
orang tua.
Gizi, ah, itu mungkin istilah asing bagi orang
tua mereka di desa sana. Istilah yang sama sekali tidak pernah ada dalam memori
ingatan mereka. Bisa membesarkan anak mereka sampai melewati tahap yang bernama
bayi, anak-anak, remaja, atau bahkan dewasa itu adalah sebuah prestasi. Tidak
peduli dengan terpenuhinya gizi atau tidak. Toh, yang pasti mereka
berhasil mendidik anak-anak cerdas dan rendah hati yang akhirnya terpilih dari
ratusan anak Indonesia yang mendaftar di sekolah yang berlokasi di Parung,
Bogor ini.
Kendati demikian, kadang-kadang, kondisi siswa yang “kurang
gizi” ini menimbulkan pemandangan yang cukup unik saat mereka mengikuti lomba.
Terdapat kesenjangan dalam hal postur badan, terutama dalam pertandingan
olahraga, futsal misalnya. Melihat-lihat mereka bertanding dengan sekolah lain
bak melihat David dan Goliath.
Itu semua berawal dari cerita yang disampaikan secara
langsung atau tidak. Mau bukti yang lebih sahih? Datanglah ke sekolah kami.
Lihatlah siswa-siswa yang masih di dua jenjang paling awal. Kulit mereka tidak
hanya hitam, namun maaf, kusam, dekil, dan lusuh. Kulit tersebut membungkus
tulang-tulang yang terlihat dominan dibandingkan dengan daging. Daging yang
nampaknya bersifat maya dalam tubuh mereka. Lemak? Dari apa mereka mendapatkan
lemak jika daging saja tidak pernah mereka makan. Lebih parah lagi, rangkaian
tulang dan selimut kulit tersebut memberikan aroma yang tidak pernah saya
temukan sebelumnya. Bau yang hampir tidak bisa didefinisikan oleh indra
penciuman saya. Bau yang tidak bisa dideskripsikan oleh kata-kata. Cerminan
dari ketidakmampuan pemerintah menjadikan warganya hidup layak sesuai dengan
visi dan misi negara ini.
Rasa syukur sudah selayaknya diucapkan oleh siswa-siswa
cerdas tersebut. Tiga tahun berada si sekolah ini, penampilan mereka berubah
drastis, seperti sebuah jeans bolong yang baru saja dipermak. Bagaimana tidak,
selain mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, mereka memiliki tim
koki (yang kemudian lebih sering disebut pantri oleh pihak-pihak yang menghuni Bumi
Pengembangan Insani) yang peduli terhadap kandungan gizi pada setiap masakan
yang mereka masak. Tidak perlu pengetahuan yang mendalam tentang gizi ini. Saya
bisa menyimpulkan hal ini dari realita yang memang nyata. Buktinya? Menunya pun
variatif. Ukuran lauknya besar-besar. Tidak jarang pula disertai dengan segelas
es buah atau bahkan jus yang variatif pula. Sesekali bahkan disediakan susu
dalam kemasan.
Meskipun kadang dikeluhkan oleh siswa, masakan yang koki
masak setiap harinya tidak pernah kami caci. Selalu nikmat di lidah dan tidak
pernah membuat kami tidak berselera makan. Oleh karena itu, tidak perlu heran
ketika melihat siswa SMART angkatan berapa pun ketika mereka telah menginjakkan
kaki di kelas lima, kulit mereka semakin bersih, postur proporsional, dan yang
pasti lebih wangi dibanding empat atau lima tahun yang lalu. Tidak bisa
dipungkiri bahwa ada campur tangan tim koki yang peduli terhadap keseimbangan
gizi para siswa. Maka, jangan pernah sungkan mengucapkan terima kasih kepada
mereka. Terima kasih koki.

Masya Alloh, semoga Alloh membalasnya dengan beribu kebaikan Aamiin Yaa Robbal Alamin Barakallah, jazakallah khair atas apa yang di berikan kepada anak anak kami... Abi Rafi
BalasHapusAamiin...Terima kasih abi rafi atas dukungannya.
Hapus